Rabu, 05 Maret 2014

BCC Hotel Skandal 7

Imigrasi Diminta Periksa Direktur Utama BCC Hotel

Petugas Imigrasi Kota Batam diminta untuk segera memeriksa ijin tinggal dan visa kerja warga negara Singapura, Toh York Yee Winston yang menjabat sebagai General Manajer atau Direktur Utama Hotel Batam City Condotel (BCC Hotel) serta beberapa pekerja asing di hotel tersebut. Winston yang diangkat melalui RUPSLB sepihak dan dikuatkan dengan akta yang dibuat Notaris Syaifudin itu diduga menyalahgunakan ijin kerja.

Toh York Yee Winston adalah warga negara Singapura yang awalnya diajak salah satu pemegang saham PT BMS (Bangun Megah Semesta) untuk bekerja di Hotel BCC. Tidak ada yang istimewa dari pria berkacamata ini, namun profesionalitas dan intelektualitasnya tidak jalan saat ditunjuk sebagai Direktur Utama PT BMS melalui RUPSLB akal akalan yang dibuat Tjipta Fudjiarta.

Dalam RUPSLB yang diselenggarakan 16 Mei 2013 dan dibuatkan aktanya pada hari yang sama oleh Notaris Syaifudin tersebut, seolah olah pemegang saham atau peserta rapat yang Cuma satu orang sekali lagi hanya Satu orang peserta Rapat saja yakni Tjipta Fudjiarta menyetujui pergantian Direktur Utama dari Conti Chandra ke Winton.

Jika cukup cerdas dan bermoral, Winston tentu tidak begitu saja mau menerima Jabatan Direktur Utama tersebut karena bisa jadi dia hanya akan menjadi Boneka sang Kapiten yang pada suatu saat nanti menjadi tumbal keganasan dan kesalahan Kapiten tersebut.

Winston juga terlalu ceroboh menerima jabatan tersebut karena Undang Undang Pemerintah RI tidak mengijinkanya. Alasanya, dia belum memiliki ijin kerja sebagai Direktur Utama di perusahaan tersebut pada saat itu dan bisa jadi ijin kerjanya tidak ada hingga saat ini. Itu bisa dilakukan pengecekan karena awalnya Winston bekerja di BCC Hotel bukan sebagai Direktur Utama sehingga jika jabatanya berbeda berarti telah menyalahgunakan ijin kerja tersebut.

“Imigrasi harus segera memeriksa Winston,” kata Direkur Eksekutif Kadin Kepri, Rahman Usman.

Menurut Rahman, Pemerintah Kota Batam dan intansi terkait diminta segera menertibkan pekerja asing di Batam karena diduga banyak yang menyalahgunakan ijin tinggal, termasuk kuat dugaan juga dilakukan Winston karena menyebabkan negara dirugikan disebabkan tidak membayar pajak.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas Satu Khusus Batam, Yudi Kurnaedi mengatakan, jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Batam mencapai ratusan orang berasal dari berbagai negara. Pekerja asing tersebut banyak bekerja di berbagai sector usaha seperti industri, jasa dan lainnya. Banyak dari pekerja asing tersebut menyalahgunakan ijin tinggal untuk menghindari pajak sehingga negara dirugikan.

“Imigrasi Kelas I khusus Batam baru saja mendeportasi dua warga negara India yakni Nanda Gopal Govindaraj (36) dan Murugan Tirupati (29) ke negara asalnya, India karena menyalahgunakan ijin tinggal dan kasus serupa masih banyak dan akan kita periksa,” katanya.

Beberapa kasus penyalahgunakan ijin tinggal oleh pekerja asing yang baru saja terjadi, kata Yudi seperti yang terjadi pada pekerja asing asal India. Kedua Tenaga Kerja Asing (TKA) tersebut bekerja di PT E-Tech Manufacturing, Tanjunguncang diduga melanggar pasal 122 huruf a UU RI nomor 6 tahun 2011, tentang Keimigrasian Indonesia. Kedua TKA tersebut sudah ditahan di Kantor Imigrasi Batam sejak Senin(24/2) lalu, dan akan diproses pencabutan dokumen izin tinggal yang dimiliki. Kedua warga negara India itu akan dideportasi ke negara asalnya India melalui Jakarta.

Terbongkarnya kasus pekerja asing asal India itu setelah mendapat laporan dari masyarakat.
Berdasarkan pemeriksaan dokumen kerja dari kementerian teknis, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam, ternyata kedua TKA asal India ini melakukan kegiatan yang dinilai tidak sesuai dengan izin tinggal yang diberikan pihak Imigrasi Batam.

“Sebelumnya, Imigrasi Batam telah mengeluarkan Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) bagi kedua TKA ini, lantaran sudah mendapatkan izin kerja dari Disnaker Batam. Namun, mereka berdua melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan Kitas yang diberikan itu,” kata Yudi.

Adapun pelanggaran Kitas yang dilakukan TKA itu adalah, Gopal tercatat bekerja sebagai Accunting Manager di PT E-Tech Manufacturing, namun fakta di lapangan yang bersangkutan ini juga menjabat sebagai manajer HRD. Selain itu, Gopal juga menjabat sebagai administrasi keuangan di PT Best Manufacturing yang beralamat di Batam Centre, perusahaan shipyard yang masih satu grup dengan PT E-Tech Manufacturing itu. Kegiatan itu tidak tercatat dalam izin kerja yang diberikan dari Disnaker Batam, sehingga tidak sesuai pula dengan izin tinggalnya atau Kitasnya.

Sedangkan, Murugan Tirupati tercatat sebagai Production Engginer di PT E-Tech Manufacturing, dan ternyata juga Murugan ini merangkap jabatan yang sama di PT Best Manufacturing. Kasus yang menimpa dua pekerja asal India itu diperkirakan juga banyak terjadi di perusahaan yang mempekerjakan orang asing seperti di BCC Hotel (Hotel Batam City Condotel). Di hotel tersebut terdapat beberapa pekerja asing, bahkan Direktur Utamanya warga negara Singapura yakni Winton. Pihak imigrasi juga diharapkan dapat memeriksa pekerja asing di BCC Hotel tersebut. (gus).

Minggu, 02 Maret 2014

BCC Hotel Skandal 6



Konspirasi Bank Ekonomi (Member of HSBC) di Skandal BCC Hotel

PT Bank Ekonomi Raharja Tbk yang sebagian besar sahamnya dimiliki HSBC (The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited) mesti bertanggung jawab saat mengambil kebijakan mengeluarkan nama salah satu pemegang saham BCC Hotel, Conti Chandra yang juga sebagai Direktur Utama karena menggunakan dasar hukum berupa akta yang dinilai tidak sah secara hukum. 

Skandal BCC Hotel terus bergulir dan mulai menyasar ke banyak pihak setelah fakta dan data ditemukan. Salah satu pihak atau lembaga yang diduga ikut berkonspirasi untuk mendongkel salah satu pemegang saham yaitu Conti Chandra adalah PT Bank Ekonomi Raharja Tbk. Perseroan yang sebagian sahamnya milik HSBC dan mengalami penurunan kinerja cukup pantastis di semester pertama 2013 tersebut dinilai menyalahi prosedur dalam mengambil kebijakan mengeluarkan nama Conti Chandra di pembukuan bank.
Awal cerita bermulai pada akhir 2012 saat Direktur Utama yang kala itu dijabat Conti Chandra yang juga salah satu pemegang saham PT BMS (Bangun Megah Semesta) mengajukan pinjaman ke Bank Ekonomi. Pinjaman disetujui dan dalam kontrak atau perjanjian tertulis dengan jelas bahwa pinjaman dilakukan antara PT BMS yang diwakili Conti Chandra sebagai Direktur Utama dan Tjipta Fudjiarta sebagai Komisaris ikut serta dalam menandatangani perjanjian kredit tersebut. Sementara itu, dari pihak Bank Ekonomi diwakili oleh Suyoto sebagai Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam dan turut dalam pembuatan akta perjanjian kredit adalah notaris Syaifudin.
Akhir 2012 dan menjelang awal 2013 terjadi sengketa antar pemegang saham PT BMS yang merupakan pemilik Gedung BCC Hotel. Salah seorang pemegang saham yakni Tjipta Fudjiarta merasa sudah menguasai PT BMS dan memiliki BCC Hotel setelah membeli sebagian besar saham PT BMS dari pemegang saham lainnya. Berdasarkan perhitungan penulis, saham yang dikuasai Tjipta Fudjiarta sekitar 87,5 persen dan sisa saham dimiliki Conti Chandra.
Jual beli saham tersebut telah dibuat aktanya oleh Notaris Syaifudin dan sebagian dibuat oleh notaris Anly Cenggana. Namun secara de fakto akta tersebut belum sah secara hukum karena Tjipta Fudjiarta belum membayarnya dan itu bisa dibuktikan dengan belum diserahterimakan dokumen akta asli yang juga berlaku sebagai kwitansi dari Conti Chandra sebagai penjual ke Tjipta Fudjiarta sebagai pembeli.
Setelah merasa telah menguasai PT BMS dan BCC Hotel, lantas Tjipta secara sepihak mengadakan RUPSLB untuk mengeluarkan Conti Chandra sebagai Direktur Utama lalu digantikan oleh warga negara Singapura, Toh York Yee Winston. Hasil RUPSLB itu dibuat risalahnya dalam akta yang dikeluarkan Notaris Syaifudin nomor 29 tahun 2013 yang dalam pembuatan aktanya menggunakan landasan akta fotocopy bukan yang asli sehingga banyak pakar hukum menilai pembuatan akta itu tidak prosedural dan akta yang dikeluarkan mestinya batal demi hukum.
“Dalam membuat akta, Notaris biasanya berurutan dengan melihat akta sebelumnya yang merupakan akta asli bukan fotocopy,”  kata pengamat hukum bisnis Frans Hendra Winata.
Berdasarkan akta nomor 29 tersebut, Tjipta memerintahkan manajemen Bank Ekonomi untuk mengeluarkan nama Conti Chandra dari pembukuan perseroan karena tidak lagi menjabat sebagai Direkur Utama. Akibatnya Conti Chandra merasa dirugikan atas tindakan manajemen Bank Ekonomi karena tidak lagi memiliki akses terhadap keuangan BCC Hotel. Langkah sepihak yang dilakukan Bank Ekonomi tersebut menyebabkan Conti Chandra tidak lagi mengetahui keuangan BCC Hotel selama beroperasi. Conti Chandra juga merasa namanya dicemarkan karena langkah Bank Ekonomi yang menghapus namanya dari pembukuan PT BMS seolah dia telah melakukan tindakan kejahatan.
Sebelum kejadian, Conti Chandra sudah menyurati manajemen Bank Ekonomi untuk tidak menghapus namanya karena sengketa kepemilikan BCC Hotel masih dalam proses pengadilan dan belum ada keputusan yang tetap,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Sengketa BCC Hotel yang bermula dari akta yang dikeluarkan notaris Anly Cenggana dan Syaifudin yang menyebut telah terjadi jual beli saham dari Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta yang menyebabkan Tjipta menguasai saham PT BMS sebanyak 87,5 persen saham dan sisanya dimiliki Conti Chandra. Pada saat itu, memang sudah terjadi proses jual beli namun, Conti Chandra belum menerima uang dari hasil jual beli sehingga bukti kuitansi dan akta asli masih dipegang oleh Conti Chandra sampai Tjipta membayar lunas transaksi tersebut. Namun hingga saat ini, Tjipta belum melunasi pembayaran dari jual beli saham tersebut dan ironisnya akta tersebut menjadi pedoman bagi notaries Saifudin untuk mengambil langkah strategis lainnya dengan menggelar dan menyetujui RUPSLB yang diselenggarakan oleh Tjipta yang salah satu agendanya mengantikan posisi Direktur Utama dari Conti Chandra ke Toh York Yee Winston yang merupakan warga Singapura.
Akta perubahan direksi yang berdasarkan RUPSLB yang dibuat oleh notaries Saifudin tersebut dinilai melanggar hukum sehingga Tjipta belum bisa mengatasnamakan pemilik BCC hotel karena belum melunasi pembayaran jual beli saham dan belum mengantongi kuitansi atau akta jual beli asli dari proses jual beli saham tersebut. Sayangnya, manajemen Bank Ekonomi tidak mengecek kembali keabsahan debitor dan tidak mengindahkan surat yang dikirim Conti Chandra untuk tidak segera merubah nama Direktur Utama sampai kasus hukumnya dan pembayaranya selesai.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kepri, Tajudin mengatakan, Direksi  Bank Ekonomi harusnya lebih pruden dan tidak gegabah dalam mementukan keabsahan calon debitur. Pengecekan seseorang atau calon debitur yang mengatasnamakan perusahaan atau lembaga harus dilakukan secara hati hati, terlebih dalam kasus BCC Hotel yang sedang bersengketa sehingga tidak bisa secara sepihak menghapus nama seseorang dari jabatan tertentu sebelum ada kepastian hukumnya.
“Bank Ekonomi dalam kasus ini tidak  pruden dan mestinya mengambalikan posisi Direksi seperti awalnya,” katanya.
Legalitas calon Debitur, kata Tajudin harus bisa dipastikan secara hukum oleh manajemen Bank Ekonomi sebelum mengambil kebijakan strategis menghapus nama seseorang dari posisi Dirut. Untuk itu, manajemen Bank Ekonomi harus mempertanggung jawabkan langkah yang telah diambil dan OJK sendiri berencana memanggil manajemen Bank Ekonomi Cabang Batam karena tidak berhati hati dalam mengambil keputusan.
Sementara itu, Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam, Suyonto ketika dikonfirmasi meminta agar penulis menghubungi Bank Ekonomi pusat di Jakarta meski yang menandatangani perjanjian kredit dan mengeluarkan Conti Chandra dari keuangan perseroan adalah Suyoto sebagai Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam.
Sebagai Bank yang sudah listed di Bursa dan anggota dari Bank Global yakni HSBC mestinya, manajemen Bank Ekonomi tidak ceroboh dan gegabah dalam membuat keputusan dan harusnya lebih prosedural. Akibat dari tindakan manajemen Bank Ekonomi tersebut ada pihak yang dirugikan dan dicemarkan nama baiknya sehingga wajar jika Bank Ekonomi sebagai suatu lembaga harus bertanggung jawab dan membayar atas keteledoranya. (agus salim).

BCC Hotel Skandal 6



Konspirasi Bank Ekonomi (Member of HSBC) di Skandal BCC Hotel

PT Bank Ekonomi Raharja Tbk yang sebagian besar sahamnya dimiliki HSBC (The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited) mesti bertanggung jawab saat mengambil kebijakan mengeluarkan nama salah satu pemegang saham BCC Hotel, Conti Chandra yang juga sebagai Direktur Utama karena menggunakan dasar hukum berupa akta yang dinilai tidak sah secara hukum.

Skandal BCC Hotel terus bergulir dan mulai menyasar ke banyak pihak setelah fakta dan data ditemukan. Salah satu pihak atau lembaga yang diduga ikut berkonspirasi untuk mendongkel salah satu pemegang saham yaitu Conti Chandra adalah PT Bank Ekonomi Raharja Tbk. Perseroan yang sebagian sahamnya milik HSBC dan mengalami penurunan kinerja cukup pantastis di semester pertama 2013 tersebut dinilai menyalahi prosedur dalam mengambil kebijakan mengeluarkan nama Conti Chandra di pembukuan bank.

Awal cerita bermulai pada akhir 2012 saat Direktur Utama yang kala itu dijabat Conti Chandra yang juga salah satu pemegang saham PT BMS (Bangun Megah Semesta) mengajukan pinjaman ke Bank Ekonomi. Pinjaman disetujui dan dalam kontrak atau perjanjian tertulis dengan jelas bahwa pinjaman dilakukan antara PT BMS yang diwakili Conti Chandra sebagai Direktur Utama dan Tjipta Fudjiarta sebagai Komisaris ikut serta dalam menandatangani perjanjian kredit tersebut. Sementara itu, dari pihak Bank Ekonomi diwakili oleh Suyoto sebagai Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam dan turut dalam pembuatan akta perjanjian kredit adalah notaris Syaifudin.

Akhir 2012 dan menjelang awal 2013 terjadi sengketa antar pemegang saham PT BMS yang merupakan pemilik Gedung BCC Hotel. Salah seorang pemegang saham yakni Tjipta Fudjiarta merasa sudah menguasai PT BMS dan memiliki BCC Hotel setelah membeli sebagian besar saham PT BMS dari pemegang saham lainnya. Berdasarkan perhitungan penulis, saham yang dikuasai Tjipta Fudjiarta sekitar 87,5 persen dan sisa saham dimiliki Conti Chandra.

Jual beli saham tersebut telah dibuat aktanya oleh Notaris Syaifudin dan sebagian dibuat oleh notaris Anly Cenggana. Namun secara de fakto akta tersebut belum sah secara hukum karena Tjipta Fudjiarta belum membayarnya dan itu bisa dibuktikan dengan belum diserahterimakan dokumen akta asli yang juga berlaku sebagai kwitansi dari Conti Chandra sebagai penjual ke Tjipta Fudjiarta sebagai pembeli.

Setelah merasa telah menguasai PT BMS dan BCC Hotel, lantas Tjipta secara sepihak mengadakan RUPSLB untuk mengeluarkan Conti Chandra sebagai Direktur Utama lalu digantikan oleh warga negara Singapura, Toh York Yee Winston. Hasil RUPSLB itu dibuat risalahnya dalam akta yang dikeluarkan Notaris Syaifudin nomor 29 tahun 2013 yang dalam pembuatan aktanya menggunakan landasan akta fotocopy bukan yang asli sehingga banyak pakar hukum menilai pembuatan akta itu tidak prosedural dan akta yang dikeluarkan mestinya batal demi hukum.

“Dalam membuat akta, Notaris biasanya berurutan dengan melihat akta sebelumnya yang merupakan akta asli bukan fotocopy,”  kata pengamat hukum bisnis Frans Hendra Winata.

Berdasarkan akta nomor 29 tersebut, Tjipta memerintahkan manajemen Bank Ekonomi untuk mengeluarkan nama Conti Chandra dari pembukuan perseroan karena tidak lagi menjabat sebagai Direkur Utama. Akibatnya Conti Chandra merasa dirugikan atas tindakan manajemen Bank Ekonomi karena tidak lagi memiliki akses terhadap keuangan BCC Hotel. Langkah sepihak yang dilakukan Bank Ekonomi tersebut menyebabkan Conti Chandra tidak lagi mengetahui keuangan BCC Hotel selama beroperasi. Conti Chandra juga merasa namanya dicemarkan karena langkah Bank Ekonomi yang menghapus namanya dari pembukuan PT BMS seolah dia telah melakukan tindakan kejahatan.
Sebelum kejadian, Conti Chandra sudah menyurati manajemen Bank Ekonomi untuk tidak menghapus namanya karena sengketa kepemilikan BCC Hotel masih dalam proses pengadilan dan belum ada keputusan yang tetap,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Sengketa BCC Hotel yang bermula dari akta yang dikeluarkan notaris Anly Cenggana dan Syaifudin yang menyebut telah terjadi jual beli saham dari Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta yang menyebabkan Tjipta menguasai saham PT BMS sebanyak 87,5 persen saham dan sisanya dimiliki Conti Chandra. Pada saat itu, memang sudah terjadi proses jual beli namun, Conti Chandra belum menerima uang dari hasil jual beli sehingga bukti kuitansi dan akta asli masih dipegang oleh Conti Chandra sampai Tjipta membayar lunas transaksi tersebut. Namun hingga saat ini, Tjipta belum melunasi pembayaran dari jual beli saham tersebut dan ironisnya akta tersebut menjadi pedoman bagi notaries Saifudin untuk mengambil langkah strategis lainnya dengan menggelar dan menyetujui RUPSLB yang diselenggarakan oleh Tjipta yang salah satu agendanya mengantikan posisi Direktur Utama dari Conti Chandra ke Toh York Yee Winston yang merupakan warga Singapura.

Akta perubahan direksi yang berdasarkan RUPSLB yang dibuat oleh notaries Saifudin tersebut dinilai melanggar hukum sehingga Tjipta belum bisa mengatasnamakan pemilik BCC hotel karena belum melunasi pembayaran jual beli saham dan belum mengantongi kuitansi atau akta jual beli asli dari proses jual beli saham tersebut. Sayangnya, manajemen Bank Ekonomi tidak mengecek kembali keabsahan debitor dan tidak mengindahkan surat yang dikirim Conti Chandra untuk tidak segera merubah nama Direktur Utama sampai kasus hukumnya dan pembayaranya selesai.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kepri, Tajudin mengatakan, Direksi  Bank Ekonomi harusnya lebih pruden dan tidak gegabah dalam mementukan keabsahan calon debitur. Pengecekan seseorang atau calon debitur yang mengatasnamakan perusahaan atau lembaga harus dilakukan secara hati hati, terlebih dalam kasus BCC Hotel yang sedang bersengketa sehingga tidak bisa secara sepihak menghapus nama seseorang dari jabatan tertentu sebelum ada kepastian hukumnya.

“Bank Ekonomi dalam kasus ini tidak  pruden dan mestinya mengambalikan posisi Direksi seperti awalnya,” katanya.

Legalitas calon Debitur, kata Tajudin harus bisa dipastikan secara hukum oleh manajemen Bank Ekonomi sebelum mengambil kebijakan strategis menghapus nama seseorang dari posisi Dirut. Untuk itu, manajemen Bank Ekonomi harus mempertanggung jawabkan langkah yang telah diambil dan OJK sendiri berencana memanggil manajemen Bank Ekonomi Cabang Batam karena tidak berhati hati dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam, Suyonto ketika dikonfirmasi meminta agar penulis menghubungi Bank Ekonomi pusat di Jakarta meski yang menandatangani perjanjian kredit dan mengeluarkan Conti Chandra dari keuangan perseroan adalah Suyoto sebagai Kepala Cabang Bank Ekonomi di Batam.

Sebagai Bank yang sudah listed di Bursa dan anggota dari Bank Global yakni HSBC mestinya, manajemen Bank Ekonomi tidak ceroboh dan gegabah dalam membuat keputusan dan harusnya lebih prosedural. Akibat dari tindakan manajemen Bank Ekonomi tersebut ada pihak yang dirugikan dan dicemarkan nama baiknya sehingga wajar jika Bank Ekonomi sebagai suatu lembaga harus bertanggung jawab dan membayar atas keteledoranya. (agus salim).

Rabu, 26 Februari 2014

BCC Hotel Skandal 5


Obrolan Wartawan dengan Notaris

Sore menjelang malam pada hari Kamis 20 Februari 2014, saya menerima telpon dari Notaris Syaifudin yang meminta kehadiran saya untuk hadir di pertemuan dengan sejumlah notaries di kantor notaries Yondri Darto.

“……Agus Salim sayang… diminta kehadiranya ya besok (jumat/21/2) sekitar pukul 5 sore rapat dengan teman teman notaries di kantor Yondri……..,” kata Syaifudin. Entah apa maksud perkataan sayang tersebut, lalu saya menjawab bersedia untuk hadir dalam acara itu.

Besoknya, Jumat (21/2) sekitar pukul 5 sore saya ternyata tidak bisa hadir karena masih harus mengerjakan laporan dan beberapa kali Notaris Yondri Darto telpon ke saya lalu sms yang meminta kehadiran saya dalam rapat itu. Lalu saya balas smsnya tidak dapat hadir dan minta untuk dijadwal ulang. Lalu pertemuan di jadwal ulang pada hari Senin (24/2) di jam yang sama.

Senin sore sekitar pukul 5 kurang 5 menit saya sudah sampai di kantor notaries Yondri dan menunggu sesaat di kursi tamu. Beberapa menit kemudian, Notaris Andreas Timothy hadir dan menyapa saya lalu duduk disebelah saya, sesaat kemudian dia pergi ke ruang rapat mengajak saya namun saya persilahkan terlebih dahulu.

Beberapa saat saya masuk ruangan rapat yang didalamnya sudah ada Andreas Timothy dan seorang notaries perempuan yang katanya Sekretaris INI (Ikatan Notaris Indonesia) kota Batam. Waktu sudah menunjukan pukul 17.25 dan rapat belum dimulai lalu seorang wanita menyuguhkan minuman teh ke saya dan beberapa saat kemudian muncul tiga orang notaries yang salah satuya Syaifudin setelah itu Yondri datang dan rapat segera dimulai.

Sebelum rapat dimulai Notaris Yondri Darto yang mengenakan kemeja warna putih berkacamata yang ada talinya dan hampir seluruh rambutnya berwarna putih itu meminta saya untuk menunjukan kartu anggota.
“Kartu anggota nya mana……” kata dia.

Saya bingung dengan pertanyaan itu, lalu saya Tanya maksudnya kartu pers atau kartu nama dan rupanya dia minta kartu pers lalu saya perlihatkan kartu saya.

Yondri yang bolak balik membenarkan letak kaca matanya itu lalu mencoba untuk mengakrapkan diri dengan saya dan bertanya asal atau suku saya dan lainnya namun tidak saya gubris.

Sekitar pukul 17.40 rapat dimulai dan Yondri menjelaskan bahwa pertemuan itu untuk membahas Tulisan yang saya buat di kolom Opini yang terbit di media lokal Batam pada 5 Februari 2014.
Sambil terus membenarkan posisi kacamatanya, Yondri minta saya untuk menjelaskan kronologis pembuatan tulisan tersebut dan bagaimana bisa ada kutipan dua notaries yakni Andreas Timothy dan Sinward dalam tulisan itu.

Awalnya saya terkejut juga mendapat pertanyaan itu, karena dalam undanganya Yondri mengatakan hanya silaturahmi namun sepertinya saya disidang oleh lima orang notaries terkait dengan tulisan saya tersebut. Lalu dengan senyuman kecil saya mencoba menjelaskan bahwa saya tidak bisa memberi keterangan terhadap tulisan yang saya buat jika tidak diminta Pimpinan Redaksi atau Dewan Pers. Pihak pihak yang merasa dirugikan atas tulisan saya tersebut bisa menggunakan hak jawab atau membuat tulisan bantahan.
Rupanya Yondri tidak puas denga jawaban saya dan tetap meminta saya untuk menjelaskan kronologis tulisan tersebut karena menyangkut dua anggotanya yang dimuat dalam tulisan saya itu.

Tak da jalan lain, akhirnya saya mencoba memberi penjelasan singkat terkait tulisan itu bahwa tulisan tentang Sengketa BCC Hotel tersebut saya buat memang saya bertemu langsung dengan Notaris Andreas Timothy dan Sinwar. Menurut Saya komentar kedua notaries dalam tulisa itu tidaklah menyasar pada seseorang tetapi hanya komentar normatif yang memang mestinya seperti itu terkait dengan standar kerja notaries dan itu juga tertulisa di banyak buku tentang jabatan notaries termasuk undang undang tentang Notaris.

Diskusi atau rapat lalu berkembang dan ada Notaris yang mencoba mengajari saya tentang Kerja Pers. Menurut pria notaries yang bernama Feri itu dalam Undang Undang Pers seorang wartawan harus menulis berita berimbang dan tidak memihak.. bla bla bla bla………..

Saya mendengarkan dengan terkagum kagum penjelasan notaries Feri itu karena ternyata notaries juga mengerti tentang kerja pers…… dalam hati saya alhamdulilah… ternyata ada juga orang yang mengerti kerja pers.

Sayangnya…Feri yang menuduk saya tendensius dalam membuat berita atau tulisan itu tidak bertanya sebelumnya ke saya diluar rapat. Sebab, tentu saja sebelum menulis berita atau tulisan saya sudah menanyakan pada dua belah pihak yang terlibat dalam tulisan itu. Namun, jika satu pihak tidak mau memberikan komentar maka saya tidak bisa berbuat apa apa lagi, namun tulisan tetap harus dikelurkan.

Seorang notaries lagi yang saya lupa namanya, namun etnis Tiong Hoa dan badanya sedikit tambun menjelaskan bahwa dia juga sering menulis di opini dan menurutnya opini yang saya tulis tidak layak diterbitka…… he he he he… saya senyum senyum saja mendengarnya.

Menurutnya… lebih bagus saya menulis tentang patung usman harun yang saat ini sedang heboh……. Ha ha ha…

Saya mendengarkan sambil angguk angguk kepala dan dalam hati saya….. siapa yang bisa mengatakan layak atau tidak layak terhadap suatu tulisan untuk dimuat di media. Kelihatanya temen saya itu mencoba untuk berperan sebagai Editor di surat kabar.

Lalu… penjelasanya tentang sebaiknya saya menulis tentang Pahlawan Usman Harun yang saat ini lagi mejadi bahan pembicaraan di Indonesia dan Singapura itu semakin mengelitik saya…. Karena jika dia sering menulis di opini, kenapa bukan dia saja yang menulis dan koq… malah saya yang disuruh menulis tentang itu……

he he he he he…….agaknya teman saya itu ingin berperan sebagai Pimpinan Redaksi yang memerintahkan wartawan untuk menulis ini dan itu….. walah walah……….

Notaris Syaifudin yang awalnya diam saja sambil sibuk memainkan tut tut handphonenya…. Angkat bicara. Menurutnya, tulisan saya itu tendensius dan menurutnya ada pesan sponsor dalam tulisan itu.

“Pasti ada pesan sponsor dalam tulisan saudara,” kata Syaifudin.

Weleh weleh………………mendapat tuduhan langsung seperti itu saya minta Syaifudin berhati hati dalam bicara karena tuduhan seperti itu bisa dikenai sangsi hukum jika saya tidak menerimanya dan melaporkanya kepada pihak berwajib.

Syaifudin terus nyerocos dan mengatakan bahwa saya juga pernah mengancam dia melalui telpon terkait tulisan yang saya buat tersebut. Menurut dia, Saya mengatakan anda tidak takut masuk penjara akibat membuat akta yang tidak jelas…..

Waduh… saya terkejut mendengarnya dan saya katakana dia telah berbohong karena bagaiamana mungkin saya mengancam  dan tidak pernah saya mengancam seseorang. Sebab tidak ada kepentingan saya dalam setiap berita yang saya buat……

Huhhhhhhhhhhhhhhhhhh……….. sambil menarik napas panjang saya coba perhatikan mata Syaifudin…. Sungguh… saya melihat bola mata yang sedang galau….

Hampir dua jam rapat berlangsung dan…. Saya tidak tahu apa hasilnya tapi dari diskusi tersebut saya belajar satu hal.

Orang yang salah akan sulit mengatakan bersalah dan minta maaf namun kebanyakan orang salah mencari cara untuk menyalahkan orang lain. (agus salim).











Kesiapan Kepri Jelang Pasar Bebas Asean


Komunitas Ekonomi ASEAN yang akan mulai diberlakukan tahun 2015, berarti mulai berlaku juga pasar bebas atau ASEAN Free Trade Area. Untuk itu, pemerintah diharapkan mendorong masyarakat untuk memahami standar kelas internasional, seperti ISO yang dikeluarkan oleh International Organization for Standardization agar produk yang dihasilkan termasuk dari Provinsi Kepri bisa bersaing dengan produk sejenis yang dihasilkan negara lain di kawasan Asean.

Penyatuan ekonomi negara negara di kawasan Asia Tenggara tinggal menghitung hari dan itu berarti perdagangan di kawasan ini tak lagi dibatasi dengan regulasi, tetapi semua kegiatan yang terkait dengan prekonomian dilakukan lintas negara hanya dengan persyaratan antara lain standar internasional pada bidang jasa dan barang.
Sebagai salah satu anggota ASEAN, Indonesia akan berhadapan dengan sembilan negara lain yang juga anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, maka pasar besar Asean nantinya akan bertumpu pada Pasar tunggal dan basis ekonomi, Kawasan berdaya saing tinggi, Integrasi ke dalam ekonomi global, dan Pembangunan ekonomi yang merata.
Sayangnya, meski Indonesia merupakan negara yang paling besar dari segi wilayah dan populasi penduduk dari anggota Asean lainnya namun dari sector perdagangan masih belum mampu menyaingi beberapa negara Asean.
Pengamat ekonomi Faisal Basri dalam seminar ekonomi menghadapi pasar bebas Asean di Batam beberapa waktu lalu mengatakan, untuk beberapa sector perdangan, Indonesia masih mengalami deficit seperti produk manufacturing, produk makanan serta minyak dan gas. Indonesia juga dinilai sebagai negara yang belum siap menghadapi pasar bebas Asean karena beberapa kendala seperti daya saing UKM (usaha kecil menengah) yang rendah, beberapa daerah tujuan wisata (DTW) yang tidak siap menghadapi arus wisatawan nusantara dan mancanegara. Birokrasi yang kurang efisien dan infrastruktur masih belum memadai khususnya di daerah.
Menghadapi Asean Economic Community perlu banyak persiapan seperti ketersediaan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia. Sebagai negara besar, Indonesia juga harus mulai menyatukan atau menghubungkan terlebih dahulu perekonomian nasional dengan cara membangun system logistic yang professional. Secara pisik, persiapan yang dibutuhkan seperti transportasi, teknologi informasi dan energy.
Pemerintah pusat juga perlu mulai mempersiapkan daerah menghadapi pasar bebas Asean, terutama daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Provinski Kepulauan Riau (Kepri). Pasalnya, jika daerah belum siap menghadapinya dikhawatirkan Indonesia akan menghadapi persoalan besar. Padahal, Komunitas Ekonomi Asean 2015 justru untuk mencapai stabilitas, kesejahteraan, dan daya saing tinggi di negara-negara anggota ASEAN.
Salah satu kekhawatiran adalah persaingan global, terutama ekonomi dan perdagangan, akan menyerbu ASEAN karena ada 600 juta penduduk di kawasan ini. Indonesia akan menjadi ’sasaran empuk’ karena berpenduduk yang paling banyak sehingga menjadi pasar yang potensial bagi perdagangan dunia.
Gubernur Kepri, H.M Sani mengatakan, Kepri merupakan daerah terdepan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam sehingga pemberlakuan Pasar Bebas Asean akan langsung menyeret perekonomian Kepri, terlebih selama ini tiga daerah di Kepri yakni Batam, Bintan dan Karimun sudah memberlakukan pasar bebas dengan statusnya sebagai kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas atau Free Trade Zone.
Tabel : Logistic Performance Index, 2012   n = 155
Pelaksana Tugas Ketua Kadin Kepri, Nada Faza Soraya Kepri dinilai masih belum siap menghadapi penyatuan ekonomi Asean di tahun 2015 karena masih banyak kendala. Beberapa kendala antara lain, kualitas produk UKM yang masih rendah sehingga dikuatirkan sulit bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Untuk itu, pemerintah daerah harus dapat memberi pengertian pada pelaku usaha kecil dan menengah untuk segera membenahi bisnisnya.

“Banyak produk yang dihasilkan UKM belum memiliki daya saing disebabkan pengelolaan packing atau kemasan yang belum professional dan kurangnya promosi,” katanya.

Selain daya saing produk UKM yang dinilai masih rendah, Kepri juga belum memiliki pelabuhan berstandar internasional untuk menunjang aktivitas ekspor impor. Oleh karena itu rencana pemerintah yang akan membangun pelabuhan Tanjung Sauh harus dipercepat.

Menurut Nada, keberadaan pelabuhan batu ampar dan beberapa pelabuhan lainnya yang ada di Batam saat ini masih belum cukup untuk menghadapi ekonomi Asean 2015 karena kapasitasnya sangat terbatas. Untuk itu, dibutuhkan pelabuhan dengan kapasitas yang lebih besar untuk menampung lebih banyak container.
”Pemerintah mestinya bisa mengembangkan salah satu atau beberapa pelabuhan di Indoneia menjadi hub (pusat koneksi ke berbagai pelabuhan dunia). Ini sangat memungkinkan karena letak geografis Indonesia yang sangat strategis yang menjadi penghubung antara Barat dan Timur serta antara Utara dan Selatan dan salah satu tempat yang layak adalah Pulau Batam,” katanya. (gus).