Jika
di Indonesia pasir kurang bernilai ekonomis, di Singapura Pasir justru menjadi
barang mewah yang diburu sejak tahun 1960. Terlebih saat ini Singapura sedang
mengerjakan proyek Oil Store dalam bentuk bunker bawah laut yakni sebuah mega
proyek penampungan minyak, sehingga Singapura tetap membutuhkan banyak pasir
ditengah keterbatasan negara itu.
Setelah sukses dengan sejumlah proyek reklamasi
pantai dengan pasir dari Indonesia, kini Singapura kembali dengan sejumlah proyek
baru berupa oil store dalam bentuk bunker bawah laut. Sebuah mega proyek untuk
penampungan minyak di bawah pantai pulau reklamasi. Sejauh ini, telah dibangun
terowongan sepanjang 2,1 kilo meter, kedalaman 120 meter di bawah ceruk Banyan
yang merupakan bagian pulau buatan bernama Jurong, hasil reklamasi yang menjadi
rumah perusahaan industri petrokimia. Pembangunan gua-gua untuk penyimpanan
minyak itu dimulai dengan lima tahapan dan pada tahap pertama dijadwalkan rampung
2014.
Tentu
saja proyek bunker bawah laut dan proyek reklamasi lainnya yang sedang dan akan
dikerjakan Singapura butuh pasir dalam jumlah besar seperti proyek yang pernah
dibangun sebelumnya, seperti proyek reklamasi delapan pulau kecil yaitu Pulau
Seraya, Merbabu, Merlimau, Ayer, Chawan, Sakra, Pesek, Masemut Laut, dan Pulau
Meskol yang di ubah namanya menjadi Pulau Jurong. Alhasil proyek reklamasi
telah menambah luas daratan Singapura lebih dari 120 kilometer persegi dari
luas semula 580 kilometer persegi menjadi sekitar 700 kilometer dan saat ini
diperkirakan luas Singapura sudah menjadi 760 kilo meter persegi.
Wakil Ketua Kadin Kepri, Jadi Rajagukguk
mengatakan, sebagian besar pasir yang diperoleh Singapura untuk proyek
reklamasinya berasal dari Indonesia terutama dari Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri). Ketika kran ekspor pasir dilegalkan pemerintah, Kepri memperoleh
pendapatan triliunan rupiah dari hasil kegiatan penambangan pasir dan banyak
pengusaha yang mendadak kaya raya akibat bisnis pasir. Namun setelah ekspor dihentikan, Kepri kehilangan
PAD (Pendapatan Asli Daerah) cukup besar dan banyak juga pengusaha yang
mendadak jatuh miskin.
Meski aktivitas penambangan pasir dan
ekspor pasir dilarang, tidak menghentikan keinginan Singapura mendatangkan
pasir dari Indonesia. Pasalnya, harga pasir dari Indonesia terbilang paling
murah di dunia ditambah lagi jaraknya yang dekat membuat Singapura tidak perlu
mengeluarkan ongkos besar untuk mengangkut pasir tersebut.
Oleh karenanya, Singapura mencoba
berbagai cara untuk mendatangkan pasir dari Indonesia. Ada tiga cara yang dilakukan Singapua untuk
mendatangkan pasir dari Indonesia, pertama cara legal dengan membeli pasir secara
resmi dari pemerintah daerah. Kedua, cara semi illegal yakni dengan membeli
pasir tidak menggunakan tender ke pemerintah daerah, lalu pengiriman pasirnya
dilakukan dengan kamuflase atau menyelundup dengan modus mengirim granit ke
Singapura, padahal dibawah granit terdapat pasir. Lalu cara ketiga dengan cara
illegal yakni dengan membeli pasir langsung dari penambang liar. Cara yang
ditempuh Singapura itu telah menyuburkan praktik penyelundupan pasir di
Indonesia melibatkan banyak pejabat dan pengusaha di daerah.
Seperti yang terjadi ketika aparat Bea Cukai Kepri menangkap kapal tongkang
Victory 19 dan "tugboat" Sea Glory 8 GT 167 di perairan Nongsa, Batam
pada Jumat (6/1) pukul 05.00 WIB. Kapal tongkang itu ditangkap karena
menyelundupkan 5.000 metrik ton pasir senilai lebih dari 1 miliar rupiah.
Penyelundupan pasir yang berasal dari Pulau Kijang itu diperkirakan sudah berlangsung
sejak lama dan baru tertangkap saat itu. Oleh karenanya, aparat BC mendalami
kemungkinan kedua kapal tersebut sudah berkali-kali menyelundupkan pasir darat
ke Singapura. Kepala Bidang Penindakan dan Sarana Operasi Kantor Wilayah Khusus Ditjen BC Kepulauan Riau (Kepri) M Rofiq mengatakan, sejak larangan ekspor pasir di larang maka banyak terjadi aksi penyelundupan pasir yang dilakukan pengusaha ke Singapura.
"Biasanya kami meningkatkan pengawasan terhadap penyelundupan berupa pemasukan pakaian dan barang-barang bekas, tetapi kini petugas patroli juga kami instruksikan untuk mengawasi penyelundupan pasir ke luar negeri khususnya ke Singapura," katanya.
Indikasi maraknya penyelundupan pasir cukup terbuka mengingat Singapura membutuhkan pasir dalam jumlah banyak untuk mereklamasi pantai dan salah satu daerah yang diharapkan dapat menyuplai pasir ke negara tersebut adalah Provinsi Kepri yang kaya akan pasir, baik pasir darat maupun pasir laut.
"Penangkapan tongkang BG Victory 19 yang hendak menyelundupkan 5.000 metrik ton pasir ke Singapura pada pekan lalu memang baru yang pertama kali. Namun, penangkapan ini menjadi titik awal bagi kami agar meningkatkan kewaspadaan terhadap penyelundupan pasir," kata Rofiq.
Menurutnya, potensi terjadinya penyelundupan pasir cukup besar karena kondisi cuaca di laut bergelombang tinggi. Penyelundup biasanya memanfaatkan kondisi di laut yang bergelombang tinggi untuk menghindari petugas patroli. Karena itu, aparat BC akan menggiatkan patroli dengan menggunakan kapal patroli berkapasitas besar yang dapat berlayar di laut lepas dengan kondisi cuaca ekstrem.
Menurut Jadi Rajagukguk, pemerintah pusat harus menindak tegas para penyelundup pasir tersebut, sebab tindakannya telah merusak lingkungan dan menyebabkan sejumlah pulau di Kepri hilang. Untuk itu, pemerintah harus mempersoalkan pertambahan luas daratan Singapura saat ini karena pasir hasil penyelundupan itu digunakan untuk reklamasi pantai di Singapura yang menambah luas daratan negara itu.
Pemerintah daerah juga harus bertindak tegas menghentikan aktivitas tambang pasir illegal yang marak di Kepri seperti yang terjadi di Batam, Bintan dan Karimun. Di Pulau Bintan saja terdapat puluhan penambang pasir illegal yang dilakukan secara terbuka dan ironisnya tidak ada tindakan hukum apapun dari aparat.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bintan, Wan Rudi mengatakan, pihaknya sudah melakukan penyetopan terhadap aksi penambang pasir tradisional liar itu, terutama di luar dari RTRW. Namun aksi serupa masih terjadi dan makin marak dilakukan tanpa mengindahkan aturan yang sudah ditetapkan.
Wan Rudi menyebutkan, saat ini ada 12 tambang rakyat yang tidak memiliki izin resmi dari Pemerintah melakukan penambangan bebas di wilayah Kalang Batang, Kecamatan Bintan Timur dan sejumlah daerah lainnya. Sementara itu, ada tiga perusahaan tambang pasir yang mendapat ijin melakukan penambangan, antara lain PT Sri Panorama, PT Bintan Inti Sukses (BIS) dan PT Sanindo.
“Pasir darat yang sudah ditambang hanya diperbolehkan dijual untuk kebutuhan dalam negeri tidak untuk ekspor,” katanya.
Aktivitas penambangan pasir illegal juga marak di Batam dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Batam hingga saat ini terus menyelidiki aktivitas penambangan pasir liar di Tanjungbemban, Nongsa yang merupakan pusat penambangan pasir illegal di Batam.
Kepala Bapedal Batam Dendi N Purnomo mengatakan, maraknya penambangan pasir di Batam disebabkan tingginya permintaan dan ada beking dari oknum aparat.
“Dari hasil pemeriksaan sementara terhadap penambang pasir illegal, ada oknum aparat yang terlibat dalam aktivitas penambangan tersebut dan oknum itu ikut membiayai penambangan liar itu,” kata Dendi. (gus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar