Jumat, 14 Februari 2014

BCC Hotel Skandal 1

Sengketa Kepemilikan BCC Hotel


Hotel Batam City Condotel (BCC Hotel) yang berdiri tinggi menjulang di pusat kota Batam ternyata menyimpan sengketa antar pemegang saham yang berujung di pengadilan. Pemegang saham lama CC merasa penjualan saham ke pemegang saham baru TF belum disertai transaksi sehingga pengambilalihan asset oleh TF dianggap melanggar hukum.

9 Oktober 2007 menghadap lima orang pengusaha yakni CC, AS, WM, H dan T ke notaris Angly Cenggana SH untuk membentuk satu perusahaan bernama  PT Bangun Megah Semesta yang berencana membangun hotel termegah di Batam dan selanjutnya hotel tersebut diberi nama BCC Hotel atau Hotel Batam City Condotel yang saat ini menjadi salah satu ikon kota Batam.
Pada awal pendirian, kelima pengusaha itu sepakat menyetor modal dasar sejumlah 1.000.000.000 rupiah yang terbagi atas 1000 lembar saham yang berarti nilai satu lembar saham 1.000.000 rupiah. Dari modal dasar tersebut, kelima pengusaha itu kembali bersepakat untuk menempatkan 28 persen dari modal dasar atau 280 lembar saham senilai 280.000.000 rupiah.  Selanjutnya, sisa saham yang 72 persen disimpan dan akan dikeluarkan menurut kebutuhan setelah mendapat persetujuan RUPS.
Dari 280 lembar saham yang ditempatkan tersebut, CC memiliki 77 lembar saham, AS memiliki 28 lembar saham, WM memiliki 84 lembar saham, H memiliki 77 lembar saham dan T memiliki 14 lembar saham.  Lalu pada 7 Juli 2011, empat pemegang saham yakni AS, WM, H dan T menjual seluruh saham mereka ke CC sehingga kepemilikan saham PT Bangun Megah Semesta sepenuhnya berada dibawah kendali CC yang juga menjabat sebagai Direktur utama perseroan.
Saat pergumulan soal saham mengemuka, pembangunan BCC Hotel dibawah kendali CC terus berlangsung dan mendekati rampung. Pada saat itu, perseroan mendapat komitmen pinjaman dari PT Bank Pan Indonesia Tbk sebesar 70 miliar rupiah dan pada saat pencairan, Bank dimaksud meminta kepada CC untuk segera mencari pendamping pemegang sahamnya karena seluruh pemegang saham yang lama mundur kecuali CC.
Itu juga dimaksud untuk memenuhi Undang Undang tentang Perseroan Terbatas tahun 2007 pasal 7 yang menyebut perseroan harus segera melakukan pengalihan saham atau mengeluarkan saham baru kepada orang lain untuk mengatasi keadaan tersebut. Yang dimaksud dengan keadaan tersebut adalah jika terjadi pengurangan jumlah pendiri perusahaan, misalnya berkurang hanya menjadi satu orang atau dua orang.
Maka, setelah peristiwa 7 Juli 2011 dimana empat pemegang saham lama PT Bangun Megah Semesta menjual seluruh sahamnya kepada CC berarti seluruh saham dikuasai CC dan sesuai UUPT, CC harus mengalihkan secepatnya saham kepada orang lain agar terhindar dari pembekuan perseroan sesuai amanat UUPT.
Babak baru kepemilikan BCC Hotel segera dimulai saat CC menunjuk TF sebagai pandamping pada 2 Desember 2011 dan menjadikanya sebagai Komisaris.  Pergulatan soal jual beli saham terus mengemuka sepanjang tahun hingga pada 19 Desember 2011 terjadi perubahan drastic pemegang saham menjadi CC yang tadinya menguasai seluruh saham menjadi hanya memiliki 105 lembar saham sedangkan TF memiliki 175 lembar saham. Proses pengerusan saham CC terus berlangsung dan hingga saat ini tergerus hanya tinggal 12,5persen.
CC yang  merasa diperdaya selanjutnya melakukan gugatan hukum dan dalam gugatannya, Diminta untuk menghentikan sementara operasional BCC Hotel sampai dengan adanya penyelesaian hutang hutang dari tergugat. Tergugat dalam hal ini diantaranya TF selaku Komisaris PT Bangun Megah Semesta dan TYYW warga negara Singapura yang saat ini menjabat di salah satu direksi PT Bangun Megah Semesta.
Adapun jumlah hutang yang harus dibayarkan senilai 15,5 miliar rupiah ditambah 268.255,34 dollar Singapura dan 1,5 miliar rupiah di kas kecil. CC selaku penggugat merasa  pengalihan saham kepada Tjipta Pudjiarta adalah untuk memenuhi ketentuan UUPT setelah seluruh pemegang saham lama menjual seluruh sahamnya ke CC. Untuk itu, guna menghindari pembubaran perseroan sesuai amanat UUPT maka segera ditunjuk TF sebagai pendamping dan bersamaan dengan itu terjadi pengalihan saham.
Pakar Hukum Bisnis Frans Hendra Winata menjelaskan, pengalihan saham tidak sama dengan penjualan saham. Penjualan saham berarti pemilik saham secara sadar menjual sahamnya dan menerima imbalan atas penjualan sahamnya sedangkan pengalihan bisa jadi dilakukan dengan berbagai alasan seperti hibah atau hanya atas nama untuk kepentingan tertentu.
Saham yang dialihkan bisa saja ditarik kembali, namun mesti ada perjanjian antara keduabelah pihak yakni orang yang mengalihkan sahamnya dan orang yang menerima sahamnya bahwa saham bisa ditarik kembali pada waktu dan kondisi tertentu. Namun, jika tidak ada perjanjian sebelumnya maka sulit bagi pemilik saham untuk menarik kembali sahamnya, terlebih jika nama orang yang menerima pengalihan saham ternyata sudah tercatat di Daftar Pemegang Saham pada perusahaan yang disengketakan.
Penguasaan saham oleh TF dinilai tidak sesuai dengan norma hukum karena berdasarkan akta pendirian perseroan, masih ada sisa saham sebesar 72 persen yang disimpan dan tidak ada hubunganya dengan TF. Penguasaan saham oleh TF atas PT Bangun Megah Semesta hanyalah saham yang menjadi modal di setor yakni 28 persen dari modal dasar yang jumlahhya 1 miliar rupiah.
Memang pada Februari 2012 telah terjadi RUPS yang salah satu agendanya akan mengeluarkan saham yang disimpang dan dilibur setelah terjadi penambahan modal dari 1 miliar rupiah menjadi 5 miliar rupiah. Namun, agenda itu dinilai cacat hukum dan batal demi hukum karena berdasarkan akta pendirian perseroan yang berhak mengeluarkan saham tersebut hanyalah pemegang saham diawal pendirian perseroan melalui RUPSLB.
Penguasaan saham oleh TF juga dinilai ganjil karena hampir seluruh transaksi jual beli saham yang melibatkan TF tidak disertai dengan bukti pembayaran. Oleh karena itu, pemilik saham lama, CC merasa pengadilan perlu melakukan sita jaminan atau sita Gedung BCC Hotel setelah terlebih dahulu menghentikan operasional hotel tersebut.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar