Hotel Batam City Condotel (BCC Hotel) yang berdiri tinggi menjulang di pusat kota Batam ternyata menyimpan sengketa antar pemegang saham yang berujung di pengadilan. Pemegang saham lama CC merasa penjualan saham ke pemegang saham baru TF belum disertai transaksi sehingga pengambilalihan asset oleh TF dianggap melanggar hukum.
9
Oktober 2007 menghadap lima orang pengusaha yakni CC, AS, WM, H dan T ke
notaris Angly Cenggana SH untuk membentuk satu perusahaan bernama PT Bangun Megah Semesta yang berencana
membangun hotel termegah di Batam dan selanjutnya hotel tersebut diberi nama
BCC Hotel atau Hotel Batam City Condotel yang saat ini menjadi salah satu ikon
kota Batam.
Pada
awal pendirian, kelima pengusaha itu sepakat menyetor modal dasar sejumlah
1.000.000.000 rupiah yang terbagi atas 1000 lembar saham yang berarti nilai
satu lembar saham 1.000.000 rupiah. Dari modal dasar tersebut, kelima pengusaha
itu kembali bersepakat untuk menempatkan 28 persen dari modal dasar atau 280 lembar
saham senilai 280.000.000 rupiah.
Selanjutnya, sisa saham yang 72 persen disimpan dan akan dikeluarkan
menurut kebutuhan setelah mendapat persetujuan RUPS.
Dari
280 lembar saham yang ditempatkan tersebut, CC memiliki 77 lembar saham, AS
memiliki 28 lembar saham, WM memiliki 84 lembar saham, H memiliki 77 lembar
saham dan T memiliki 14 lembar saham.
Lalu pada 7 Juli 2011, empat pemegang saham yakni AS, WM, H dan T
menjual seluruh saham mereka ke CC sehingga kepemilikan saham PT Bangun Megah
Semesta sepenuhnya berada dibawah kendali CC yang juga menjabat sebagai
Direktur utama perseroan.
Saat
pergumulan soal saham mengemuka, pembangunan BCC Hotel dibawah kendali CC terus
berlangsung dan mendekati rampung. Pada saat itu, perseroan mendapat komitmen
pinjaman dari PT Bank Pan Indonesia Tbk sebesar 70 miliar rupiah dan pada saat
pencairan, Bank dimaksud meminta kepada CC untuk segera mencari pendamping
pemegang sahamnya karena seluruh pemegang saham yang lama mundur kecuali CC.
Itu
juga dimaksud untuk memenuhi Undang Undang tentang Perseroan Terbatas tahun
2007 pasal 7 yang menyebut perseroan harus segera melakukan pengalihan saham
atau mengeluarkan saham baru kepada orang lain untuk mengatasi keadaan
tersebut. Yang dimaksud dengan keadaan tersebut adalah jika terjadi pengurangan
jumlah pendiri perusahaan, misalnya berkurang hanya menjadi satu orang atau dua
orang.
Maka,
setelah peristiwa 7 Juli 2011 dimana empat pemegang saham lama PT Bangun Megah
Semesta menjual seluruh sahamnya kepada CC berarti seluruh saham dikuasai CC
dan sesuai UUPT, CC harus mengalihkan secepatnya saham kepada orang lain agar
terhindar dari pembekuan perseroan sesuai amanat UUPT.
Babak
baru kepemilikan BCC Hotel segera dimulai saat CC menunjuk TF sebagai
pandamping pada 2 Desember 2011 dan menjadikanya sebagai Komisaris. Pergulatan soal jual beli saham terus
mengemuka sepanjang tahun hingga pada 19 Desember 2011 terjadi perubahan drastic
pemegang saham menjadi CC yang tadinya menguasai seluruh saham menjadi hanya
memiliki 105 lembar saham sedangkan TF memiliki 175 lembar saham. Proses pengerusan
saham CC terus berlangsung dan hingga saat ini tergerus hanya tinggal 12,5persen.
CC
yang merasa diperdaya selanjutnya
melakukan gugatan hukum dan dalam gugatannya, Diminta untuk menghentikan
sementara operasional BCC Hotel sampai dengan adanya penyelesaian hutang hutang
dari tergugat. Tergugat dalam hal ini diantaranya TF selaku Komisaris PT Bangun
Megah Semesta dan TYYW warga negara Singapura yang saat ini menjabat di salah
satu direksi PT Bangun Megah Semesta.
Adapun
jumlah hutang yang harus dibayarkan senilai 15,5 miliar rupiah ditambah
268.255,34 dollar Singapura dan 1,5 miliar rupiah di kas kecil. CC selaku
penggugat merasa pengalihan saham kepada
Tjipta Pudjiarta adalah untuk memenuhi ketentuan UUPT setelah seluruh pemegang
saham lama menjual seluruh sahamnya ke CC. Untuk itu, guna menghindari
pembubaran perseroan sesuai amanat UUPT maka segera ditunjuk TF sebagai
pendamping dan bersamaan dengan itu terjadi pengalihan saham.
Pakar
Hukum Bisnis Frans Hendra Winata menjelaskan, pengalihan saham tidak sama
dengan penjualan saham. Penjualan saham berarti pemilik saham secara sadar
menjual sahamnya dan menerima imbalan atas penjualan sahamnya sedangkan
pengalihan bisa jadi dilakukan dengan berbagai alasan seperti hibah atau hanya
atas nama untuk kepentingan tertentu.
Saham
yang dialihkan bisa saja ditarik kembali, namun mesti ada perjanjian antara
keduabelah pihak yakni orang yang mengalihkan sahamnya dan orang yang menerima
sahamnya bahwa saham bisa ditarik kembali pada waktu dan kondisi tertentu.
Namun, jika tidak ada perjanjian sebelumnya maka sulit bagi pemilik saham untuk
menarik kembali sahamnya, terlebih jika nama orang yang menerima pengalihan
saham ternyata sudah tercatat di Daftar Pemegang Saham pada perusahaan yang
disengketakan.
Penguasaan
saham oleh TF dinilai tidak sesuai dengan norma hukum karena berdasarkan akta
pendirian perseroan, masih ada sisa saham sebesar 72 persen yang disimpan dan
tidak ada hubunganya dengan TF. Penguasaan saham oleh TF atas PT Bangun Megah
Semesta hanyalah saham yang menjadi modal di setor yakni 28 persen dari modal
dasar yang jumlahhya 1 miliar rupiah.
Memang
pada Februari 2012 telah terjadi RUPS yang salah satu agendanya akan
mengeluarkan saham yang disimpang dan dilibur setelah terjadi penambahan modal
dari 1 miliar rupiah menjadi 5 miliar rupiah. Namun, agenda itu dinilai cacat
hukum dan batal demi hukum karena berdasarkan akta pendirian perseroan yang
berhak mengeluarkan saham tersebut hanyalah pemegang saham diawal pendirian
perseroan melalui RUPSLB.
Penguasaan
saham oleh TF juga dinilai ganjil karena hampir seluruh transaksi jual beli
saham yang melibatkan TF tidak disertai dengan bukti pembayaran. Oleh karena
itu, pemilik saham lama, CC merasa pengadilan perlu melakukan sita jaminan atau
sita Gedung BCC Hotel setelah terlebih dahulu menghentikan operasional hotel
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar