Profesi
hukum seperti notaris merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) yang
memerlukan integritas serta kualifikasi tersendiri. Oleh karenanya dituntut
memiliki rasa kepekaan atas nilai keadilan dan kebenaran serta mewujudkan
kepastian hukum bagi pencapaian dan pemeliharaan ketertiban masyarakat.
Selain itu, profesi hukum
berkewajiban selalu mengusahakan dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk
mengetahui segala aturan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Secara ilmiah
bagi tegaknya hukum dan keadilan dan terutama diperuntukan bagi mereka yang
membutuhkanya.
Dalam pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris dikemukakan bahwa notaris ialah pejabat umum satu-satunya yang
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan yang dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktenya dan memberikan grosse,
salinan, dan kutipanya, semuanya sepanjang akte itu oleh suatu peraturan tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain, dalam
menjalankan profesinya notaris mendapat ijin praktek dari Menteri Kehakiman,
dan dalam hal ini pekerjaan adalah membuat akta otentik.
Sehubungan dengan hal tersebut
diatas, maka notaris dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kode etik profesi,
karena notaris merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) yang memerlukan
integritas serta kualifikasi tersendiri. Secara tidak langsung sebagai sebuah
profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) dan sebagai sebuah
profesi yang membutuhkan keprofesionalitasan, maka tanggung jawab seorang
profesional terhadap klien sangat berat tetapi secara tidak langsung hal
tersebut mau tidak mau harus dijalankan sesuai dengan standart kode etik
notaris yang berlaku, dimana ia harus memegang teguh etika profesi, memegang
teguh etika profesi sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan tugas profesi dengan
baik, karena didalam kode etik profesi itulah ditentukan segala prilaku yang
dimiliki oleh seorang notaris.
Yusrisal Aesong dalam makalahnya
berjudul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Notaris” merinci kekuatan pembuktian
dari akta notaries mempunya tiga macam kekuatan pembuktian, pertama, Kekuatan pembuktian yang luar
atau lahiriah, merupakan kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan
lahir, apa yang tampak pada lahirnya (acta publica probant sese ipsa). Kedua, Kekuatan pembuktian formil, ialah
kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul
dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh para pihak yang menghadap.
Ketiga,
Kekuatan pembuktian materiiil, ialah
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta, kecuali ada pembuktian sebaliknya
(memberikan kepastian tentang materi suatu akta).
Vanezintania, dalam ulasan
Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian, 1 Januari 2013 menyebut, pengertian
pembatalan mengandung dua macam
kemungkinan alasan yakni pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dan
pembatalan karena adanya wan prestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan
dengan tiga syarat yaitu pertama,
perjanjian harus bersipat timbal balik (bilateral), kedua, harus ada wan prestasi (breach of contract), ketiga, harus dengan putusan hakim
(verdict).
Lantas, bagaimana tanggung jawab notaries
terhadap akta yang dibatalkan ?.. apabila pihak yang dirugikan akibat akta yang
dibuat notaries lalu melakukan gugatan dan gugatanya terbukti, maka akta notaries
terdegradasi kedudukanya dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan,sebagai
akta dibawah tangan maka nilai pembuktianya tergantung para pihak dan hakim
yang menilainya.
Apabila pendegradasian kedudukan
akta tersebut ternyata merugikan pihak yang bersangkutan (penggugat) dan dapat
dibuktikan oleh penggungat maka penggungat dapat menuntut ganti rugi pada notaries.
Apabila notaries tidak membayar ganti rugi yang dituntut tersebut maka
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut notaries
dapat dinyatakan pailit. Kepailitan notaries
tersebut bisa menjadi dasar untuk memberhentikan sementara notaries dari
jabatanya.
Bertitik tolak dari uraian diatas,
maka kasus sengketa Hotel Batam City Condotel (BCC Hotel) yang sedang menyeruak dan diduga melibatkan notaries
Anly Cenggana dan Syaifudin bisa menjadikan posisi kedua notaries itu diujung
tanduk.
Notaris Anly Cenggana mengeluarkan
akta nomor 53 tanggal 22 Desember2011 dimana dalam akta tersebut dinyatakan
telah terjadi jual beli saham dari Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta. Dalam transaksi
tersebut Conti Chandra belum menerima uang hasil penjualan namun, Anly sudah
memberi nomor dan mendaftarkan akta tersebut dan dalam akta juga tidak
disebutkan kapan dan bagaimana Tjipta harus melunasi pembayaranya. Kondisi itu akhirnya
dikemudian hari menjadi sengketa. Hal yang sama juga dilakukan Anly Cenggana
dengan mengeluarkan akta jual beli saham dengan nomor akta 98 tanggal 30
Nopember 2011 dalam transaksi jual beli saham itu, Tjipta Fudjiarta sebagai
pembeli juga belum mengeluarkan uang.
Sementara itu, Notaris Syaifudin
diduga kuat melakukan pelanggaran kode etik dalam mengeluarkan akta nomor 11 dan 12
tanggal 7 September 2012, akta nomor 28 dan 29 tanggal 16 Mei 2013 serta akta
nomor 1 dan 2 tanggal 01 Juli 2013 yang semua akta itu berkaitan dengan
sengketa BCC Hotel.
Dalam
akta yang diterbitkan tersebut terlihat upaya mendepak Conti Chandra dari PT
BMS secara yuridis. Mari dikaji satu persatu akta tersebut..dalam akta nomor 11
dan 12 tanggal 7 September 2012 disebut telah terjadi pengalihan saham sebanyak
218 lembar milik Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta, padahal dalam transaksi
tersebut Istri Conti Chandra tidak menyetujui sehingga tidak ikut serta
menandatangani aktanya sehingga patut dipertanyakan keabsahanya.
Lalu
dalam akta nomor 28 dan 29 tanggal 16 Mei 2013 terlihat perbuatan Notaris
Syaifudin yang sangat tidak masuk akal. Di akta nomor 28 disebutkan bahwa rapat
menunda untuk membahas laporan keuangan dan diakhir tulisan akta disebutkan
bahwa “…. Sementara saat akta sedang dipersiapkan oleh saya, notaries, maka
Tuan Conti Chandra telah meninggalkan tempat rapat..” akta itu dibuat pukul
12.00 WIB.
Lalu
pada akta nomor 29 disebutkan bahwa RUPS telah menyetujui pergantian Direksi
dan Conti Chandra didepak sebagai Direkut Utama lalu digantikan warga Singapura
Toh York Yee Winston. Di akhir tulisan akta juga disebutkan bahwa “…maka seketika
itu juga akta ini ditandatangani oleh penghadap, saksi saksi dan saya,
notaries, sedangkan Tuan Conti Chandra telah meninggalkan tempat..” akta itu
dibuat pukul 12.45 WIB.
Terlihat jelas Syaifudin memaksakan diri untuk
membuat akta itu karena tentu saja tidak bisa diterima akal sehat pada hari
yang sama, tempat yang sama disebutkan Conti Chandra meninggalkan tempat rapat
dua kali. Yang pertama di pengesahan akta nomor 28 lalu yang kedua dipengesahan
akta 29 padahal tempo waktunya hanya 45 menit dari pengesahan akta 28 ke 29.
Faktanya, Conti Chandra tidak pernah mengikuti RUPS
sesuai akta nomor 28 dan 29 tersebut. Dia hanya hadir sebenar lalu meninggalkan
tempat karena agenda pembahasan rapat tidak sesuai dengan undangan. Anehnya
rapat tetap dilanjutkan oleh Syaifudin karena menurutnya sudah sah sesuai
Undang Undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaries dan Undang Undang
nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Disini terlihat jelas Syaifudin ingin mengelabui
Conti Chandra dengan Undang Undang. Padahal dalam UU nomor 30 tahun 2004
disebut secara jelas dalam pasal 16 “Notaris harus bertindak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum. Lalu notaries membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”.
Faktanya, Conti Chandra tidak pernah hadir dan tidak
pernah menandatangani pengesahan akta tersebut. Lantas…. Apakah dianggap sah
akta akta itu…
Jika Syaifudin menilai rapat sesuai akta nomor 28
dan 29 dianggap sah karena sudah sesuai dengan UU Perseroan Terbatas juga
dinilai keliru karena dalam UU PT sangat jelas disebutkan dalam pasal 86 bahwa
“RUPS dapat dilangsungkan jika dalam
RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili...” kemudian “Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua”.
Faktanya
pemegang saham PT BMS hanya dua orang yakni Tjipta Fudjiarta dan Conti Chandra
sehingga sesuai UU PT maka RUPS dapat dilangsungkan jika setengah dari pemegang
saham dengan hak suara hadir. Artinya tidak mungkin hanya satu orang pemegang
saham yang kebetulan mayoritas pemilik saham bisa mengadakan rapat karena tidak
mungkin rapat hanya dihadiri satu orang saja……sungguh aneh tapi nyata…
Yang lebih
konyol lagi saat Syaifudin mengeluarkan akta nomor 2 tanggal 1 Juli 2013. Dalam
akta tersebut disebutkan telah terjadi RUPS dengan agenda perubahan susunan
direksi. RUPS jelas jelas hanya dihadiri Tjipta Fudjiarta sebagai pemegang
saham dan tidak ada surat pemberitahuan kepada pemegang saham lainya yakni
Conti Chandra dan bohong belaka jika sudah ada undangan sebelumnya karena
faktanya Conti Chandra tidak pernah menerima undangan tersebut. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar