Kamis, 20 Februari 2014

Notaris Syaifudin dan Anly Cenggana Diujung Tanduk



Profesi hukum seperti notaris merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) yang memerlukan integritas serta kualifikasi tersendiri. Oleh karenanya dituntut memiliki rasa kepekaan atas nilai keadilan dan kebenaran serta mewujudkan kepastian hukum bagi pencapaian dan  pemeliharaan ketertiban masyarakat.

Selain itu, profesi hukum berkewajiban selalu mengusahakan dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk mengetahui segala aturan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Secara ilmiah bagi tegaknya hukum dan keadilan dan terutama diperuntukan bagi mereka yang membutuhkanya.

Dalam pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dikemukakan bahwa notaris ialah  pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu  peraturan umum atau oleh yang berkepentingan yang dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktenya dan memberikan grosse, salinan, dan kutipanya, semuanya sepanjang akte itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain, dalam menjalankan profesinya notaris mendapat ijin praktek dari Menteri Kehakiman, dan dalam hal ini pekerjaan adalah membuat akta otentik.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka notaris dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kode etik profesi, karena notaris merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) yang memerlukan integritas serta kualifikasi tersendiri. Secara tidak langsung sebagai sebuah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) dan sebagai sebuah profesi yang membutuhkan keprofesionalitasan, maka tanggung jawab seorang profesional terhadap klien sangat berat tetapi secara tidak langsung hal tersebut mau tidak mau harus dijalankan sesuai dengan standart kode etik notaris yang berlaku, dimana ia harus memegang teguh etika profesi, memegang teguh etika profesi sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan tugas profesi dengan baik, karena didalam kode etik profesi itulah ditentukan segala prilaku yang dimiliki oleh seorang notaris.

Yusrisal Aesong dalam makalahnya berjudul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Notaris” merinci kekuatan pembuktian dari akta notaries mempunya tiga macam kekuatan pembuktian, pertama, Kekuatan pembuktian yang luar atau lahiriah, merupakan kekuatan  pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya (acta publica probant sese ipsa). Kedua, Kekuatan pembuktian formil, ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh para pihak yang menghadap.
Ketiga, Kekuatan pembuktian materiiil, ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta, kecuali ada pembuktian sebaliknya (memberikan kepastian tentang materi suatu akta).

Vanezintania, dalam ulasan Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian, 1 Januari 2013 menyebut, pengertian pembatalan mengandung  dua macam kemungkinan alasan yakni pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dan pembatalan karena adanya wan prestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yaitu pertama, perjanjian harus bersipat timbal balik (bilateral), kedua, harus ada wan prestasi (breach of contract), ketiga, harus dengan putusan hakim (verdict).

Lantas, bagaimana tanggung jawab notaries terhadap akta yang dibatalkan ?.. apabila pihak yang dirugikan akibat akta yang dibuat notaries lalu melakukan gugatan dan gugatanya terbukti, maka akta notaries terdegradasi kedudukanya dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan,sebagai akta dibawah tangan maka nilai pembuktianya tergantung para pihak dan hakim yang menilainya.

Apabila pendegradasian kedudukan akta tersebut ternyata merugikan pihak yang bersangkutan (penggugat) dan dapat dibuktikan oleh penggungat maka penggungat dapat menuntut ganti rugi pada notaries. Apabila notaries tidak membayar ganti rugi yang dituntut tersebut maka berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut notaries dapat dinyatakan pailit.  Kepailitan notaries tersebut bisa menjadi dasar untuk memberhentikan sementara notaries dari jabatanya.

Bertitik tolak dari uraian diatas, maka kasus sengketa Hotel Batam City Condotel (BCC Hotel)  yang sedang menyeruak dan diduga melibatkan notaries Anly Cenggana dan Syaifudin bisa menjadikan posisi kedua notaries itu diujung tanduk.

Notaris Anly Cenggana mengeluarkan akta nomor 53 tanggal 22 Desember2011 dimana dalam akta tersebut dinyatakan telah terjadi jual beli saham dari Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta. Dalam transaksi tersebut Conti Chandra belum menerima uang hasil penjualan namun, Anly sudah memberi nomor dan mendaftarkan akta tersebut dan dalam akta juga tidak disebutkan kapan dan bagaimana Tjipta harus melunasi pembayaranya. Kondisi itu akhirnya dikemudian hari menjadi sengketa. Hal yang sama juga dilakukan Anly Cenggana dengan mengeluarkan akta jual beli saham dengan nomor akta 98 tanggal 30 Nopember 2011 dalam transaksi jual beli saham itu, Tjipta Fudjiarta sebagai pembeli juga belum mengeluarkan uang.

Sementara itu, Notaris Syaifudin diduga kuat melakukan pelanggaran kode etik dalam mengeluarkan akta nomor 11 dan 12 tanggal 7 September 2012, akta nomor 28 dan 29 tanggal 16 Mei 2013 serta akta nomor 1 dan 2 tanggal 01 Juli 2013 yang semua akta itu berkaitan dengan sengketa BCC Hotel.

Dalam akta yang diterbitkan tersebut terlihat upaya mendepak Conti Chandra dari PT BMS secara yuridis. Mari dikaji satu persatu akta tersebut..dalam akta nomor 11 dan 12 tanggal 7 September 2012 disebut telah terjadi pengalihan saham sebanyak 218 lembar milik Conti Chandra ke Tjipta Fudjiarta, padahal dalam transaksi tersebut Istri Conti Chandra tidak menyetujui sehingga tidak ikut serta menandatangani aktanya sehingga patut dipertanyakan keabsahanya.

Lalu dalam akta nomor 28 dan 29 tanggal 16 Mei 2013 terlihat perbuatan Notaris Syaifudin yang sangat tidak masuk akal. Di akta nomor 28 disebutkan bahwa rapat menunda untuk membahas laporan keuangan dan diakhir tulisan akta disebutkan bahwa “…. Sementara saat akta sedang dipersiapkan oleh saya, notaries, maka Tuan Conti Chandra telah meninggalkan tempat rapat..” akta itu dibuat pukul 12.00 WIB.  

Lalu pada akta nomor 29 disebutkan bahwa RUPS telah menyetujui pergantian Direksi dan Conti Chandra didepak sebagai Direkut Utama lalu digantikan warga Singapura Toh York Yee Winston. Di akhir tulisan akta juga disebutkan bahwa “…maka seketika itu juga akta ini ditandatangani oleh penghadap, saksi saksi dan saya, notaries, sedangkan Tuan Conti Chandra telah meninggalkan tempat..” akta itu dibuat pukul 12.45 WIB.

Terlihat jelas Syaifudin memaksakan diri untuk membuat akta itu karena tentu saja tidak bisa diterima akal sehat pada hari yang sama, tempat yang sama disebutkan Conti Chandra meninggalkan tempat rapat dua kali. Yang pertama di pengesahan akta nomor 28 lalu yang kedua dipengesahan akta 29 padahal tempo waktunya hanya 45 menit dari pengesahan akta 28 ke 29.

Faktanya, Conti Chandra tidak pernah mengikuti RUPS sesuai akta nomor 28 dan 29 tersebut. Dia hanya hadir sebenar lalu meninggalkan tempat karena agenda pembahasan rapat tidak sesuai dengan undangan. Anehnya rapat tetap dilanjutkan oleh Syaifudin karena menurutnya sudah sah sesuai Undang Undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaries dan Undang Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Disini terlihat jelas Syaifudin ingin mengelabui Conti Chandra dengan Undang Undang. Padahal dalam UU nomor 30 tahun 2004 disebut secara jelas dalam pasal 16 “Notaris harus bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Lalu notaries membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”.

Faktanya, Conti Chandra tidak pernah hadir dan tidak pernah menandatangani pengesahan akta tersebut. Lantas…. Apakah dianggap sah akta akta itu…

Jika Syaifudin menilai rapat sesuai akta nomor 28 dan 29 dianggap sah karena sudah sesuai dengan UU Perseroan Terbatas juga dinilai keliru karena dalam UU PT sangat jelas disebutkan dalam pasal 86  bahwa  RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili...” kemudian “Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua”.

Faktanya pemegang saham PT BMS hanya dua orang yakni Tjipta Fudjiarta dan Conti Chandra sehingga sesuai UU PT maka RUPS dapat dilangsungkan jika setengah dari pemegang saham dengan hak suara hadir. Artinya tidak mungkin hanya satu orang pemegang saham yang kebetulan mayoritas pemilik saham bisa mengadakan rapat karena tidak mungkin rapat hanya dihadiri satu orang saja……sungguh aneh tapi nyata…
Yang lebih konyol lagi saat Syaifudin mengeluarkan akta nomor 2 tanggal 1 Juli 2013. Dalam akta tersebut disebutkan telah terjadi RUPS dengan agenda perubahan susunan direksi. RUPS jelas jelas hanya dihadiri Tjipta Fudjiarta sebagai pemegang saham dan tidak ada surat pemberitahuan kepada pemegang saham lainya yakni Conti Chandra dan bohong belaka jika sudah ada undangan sebelumnya karena faktanya Conti Chandra tidak pernah menerima undangan tersebut. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar