Penguasaan gedung BCC Hotel oleh Tjipta Fudjiarta saat ini dinilai terlalu dipaksakan karena faktanya penguasaan saham PT BMS yang terjadi saat ini terjadi pada harga 1.000 rupiah per lembar, sama dengan harga diawal pembentukan PT BMS sekitar tahun 2007 yang kala itu belum ada gedung BCC Hotel. Selain itu, berdasarkan laporan keuangan PT BMS, gedung BCC Hotel juga belum termasuk asset perseroan sehingga keliru jika Tjipta Fudjiarta merasa sudah menguasai gedung BCC Hotel.
Sengketa kepemilikan BCC Hotel bisa jadi
sebuan modus kejahatan kerah putih yang sudah direncanakan sebelumnya. Awalnya
Tjipta Furdiarta yang masih memiliki hubungan saudara dengan istri pemegang
saham lama (Conti Chandra) dianggap bersih dan bisa diajak kerjasama, namun
ternyata anggapan itu keliru dan Tjipta Fudjiarta justru berhasil “mengelabui”
Conti Chandra sehingga bisa menguasai saham PT BMS.
Tjipta Fudjiarta taipan asal Medan
mungkin bukan siapa siapa bagi pengusaha Batam, karena memang belum dikenal dan
belum banyak kolega bisnisnya di Batam. Dia masuk ke Batam ketika Conti Chandra
yang kala itu sedang membangun BCC Hotel membutuhkan pendamping setelah
pemegang saham lama memutuskan untuk menjual seluruh sahamnya dan kala itu
Conti Chandra juga sedang membutuhkan modal tambahan untuk penyelesaian
pembangunan gedung.
Awal masuk, semua berjalan sebagaimana
mestinya dan sepertihalnya orang China kebanyakan, maka kepercayaan menjadi
modal utama untuk menjalani bisnis. Oleh karenanya, bukti hitam putih diatas
kertas, kwitansi pembayaran dan pelunasan serta hutang piutang hampir sebagian
besar tidak tercatat karena semuanya atas dasar KEPERCAYAAN.
Contohnya hampir seluruh proses jual
beli saham yang sudah dibukukan dalam akta oleh notaries yang scara hukum sudah
terjadi transaksi, namun faktanya Tjipta Fudjiarta tidak pernah mengeluarkan
uang untuk membeli saham tersebut dan ironisnya Conti Chandra menyetujui dalam
akta tersebut karena didasari atas KEPERCAYAAN.
Lebih jauh bisa dianalisis dari Akta
nomor 53 tanggal 22 Desember 2011. Dalam akta yang diterbitkan Notaris Anly
Cenggana, SH tersebut dinyatakan bahwa Conti Chandra telah menjual sebagian
sahamnya kepada Tjipta Fudjiarta, sehingga susunan pemegang saham menjadi Conti
Chandra memiliki 84 lembar saham sedangkan Tjifta Fudjiarta memiliki 196 lembar
saham diharga 1.000 rupiah. Proses jual beli berdasarkan akta ini juga
sebenarnya secara rill tidak disertai transaksi atau penyerahan uang dari
pembeli ke penjual karena semuanya dilakukan atas KEPERCAYAAN.
Ironisnya justru KEPERCAYAAN yang
diberikan Conti Chandra menjadi boomerang bagi dirinya sendiri, karena Tjipta
Fudjiarta ternyata orang yang tidaka bisa diberi KEPERCAYAAN. Setelah merasa
sudah menguasai saham PTBMS, Tjipta Fudjiarta mulai menampakan sipat aslinya
dengan terlebih dahulu mendepak Conti Chandra dari kursi Direktur dan
mengantinya dengan orang lain.
Setelah memecat Conti Chanra selanjutnya
Tjipta Fudjiarta mulai mengontrol operasional BCC Hotel dan Conti Chandra tidak
lagi memiliki akses untuk mengetahui operasional BCC Hotel. Namun, seperti kata
pepatah tak ada gading yang tak retak, dan sepandai pandainya tupai melompat
pasti jatuh juga kebawah.
Tjipta Fudjiarta yang merasa sudah
menguasai dan memiliki BCC Hotel harus berjuang lebih panjang untuk mewujudkan
mimpinya itu karena berdasarkan bukti, fakta yang ada ternyata banyak celah
yang bisa membuyarkan mimpi taipan asal kota Medan tersebut.
Analis pasar modal, Felix Sindhuwinata
mengatakan, setiap perusahaan mestinya didalam laporan keuanganya menyebutkan
seluruh asset yang dimiliki. Artinya, dalam laporan keuangan PT BMS mestinya
disebut bahwa gedung BCC hotel merupakan salah satu asset perseroan. Namun jika
di teliti laporan keuangan perseroan ternyata Gedung BCC hotel belum termasuk
atau belum dimasukan dalam asset perseroan sehingga penguasaan gedung BCC Hotel
oleh Tjipta Fudjiarta sangat keliru.
Maka dengan begitu, berarti PT BMS yang
dikuasai Tjipta Fudjiarta hanya mengontrak atau sewa kepada pihak ketiga yang
dalam hal ini bisa jadi Conti Chandra.
Penguasaan Gedung BCC Hotel oleh Tjipta
Fudjiarta juga dianggap keliru karena saham mayoritas yang dibelinya hanya
seharga 1.000 rupiah per lembar, sama persis dengan harga saham diawal
pendirian perseroan yang kala itu belum dibangun BCC Hotel.
Jika diasumsikan Tjipta Fudjiarta sudah
memiliki gedung BCC Hotel dengan memiliki saham mayoritas 196 lembar saham
dengan harga 196 juta rupiah Artinya, Tjipta Fudjiarta hanya membeli gedung BCC
Hotel seharga 196 juta rupiah, padahal berdasarkan penilaian oleh KJPP Miduk
Totok dan Rekan yang berkedudukan di Jakarta pada 28 Mei 2011 disebutkan bahwa
nilai gedung BCC Hotel saat itu 182.132.000.000 rupiah. Dengan demikian, jika
Tjipta Fudjiarta bersikeras ingin mewujudkan mimpinya memiliki gedung BCC Hotel
dia harus mengeluarkan lagi sekitar 181,9 miliar rupiah lagi kepada Conti
Chandra. Namun berdasarkan nilai pasar saat ini yang mencapai 400 miliar
rupiah, maka Tjipta Fudjiarta baru bisa mewujudkan mimpinya dengan mengeluarkan
uang lebih dari 300 miliar rupiah lagi.
Atas kasus sengketa kepemilikan BCC
Hotel ini, penulis memandang telah terjadi kejahatan yang sangat rapi untuk
menguasai asset seseorang. Tjipta Fudjiarta agaknya memiliki pemahaman yang
cukup bagus tentang hukum dan juga cerdik tentunya. Oleh karena itu, Majelis
Hakim yang merupakan perwakilan Tuhan untuk memberi keadilan di Bumi harus
sangat jeli dan tidak keliru memberi keputusan sidang.
kasus yang begitu menguras perhatian publik
BalasHapus