Jumat, 14 Februari 2014

BCC Hotel Skandal 2

Kisruh Kepemilikan BCC Hotel

Penguasaan gedung BCC Hotel oleh Tjipta Fudjiarta saat ini dinilai terlalu dipaksakan karena faktanya penguasaan saham PT BMS yang terjadi saat ini terjadi pada harga 1.000 rupiah per lembar, sama dengan harga diawal pembentukan PT BMS sekitar tahun 2007 yang kala itu belum ada gedung BCC Hotel. Selain itu, berdasarkan laporan keuangan PT BMS, gedung BCC Hotel juga belum termasuk asset perseroan sehingga keliru jika Tjipta Fudjiarta merasa sudah menguasai gedung BCC Hotel.

Sengketa kepemilikan BCC Hotel bisa jadi sebuan modus kejahatan kerah putih yang sudah direncanakan sebelumnya. Awalnya Tjipta Furdiarta yang masih memiliki hubungan saudara dengan istri pemegang saham lama (Conti Chandra) dianggap bersih dan bisa diajak kerjasama, namun ternyata anggapan itu keliru dan Tjipta Fudjiarta justru berhasil “mengelabui” Conti Chandra sehingga bisa menguasai saham PT BMS.

Tjipta Fudjiarta taipan asal Medan mungkin bukan siapa siapa bagi pengusaha Batam, karena memang belum dikenal dan belum banyak kolega bisnisnya di Batam. Dia masuk ke Batam ketika Conti Chandra yang kala itu sedang membangun BCC Hotel membutuhkan pendamping setelah pemegang saham lama memutuskan untuk menjual seluruh sahamnya dan kala itu Conti Chandra juga sedang membutuhkan modal tambahan untuk penyelesaian pembangunan gedung.

Awal masuk, semua berjalan sebagaimana mestinya dan sepertihalnya orang China kebanyakan, maka kepercayaan menjadi modal utama untuk menjalani bisnis. Oleh karenanya, bukti hitam putih diatas kertas, kwitansi pembayaran dan pelunasan serta hutang piutang hampir sebagian besar tidak tercatat karena semuanya atas dasar KEPERCAYAAN.

Contohnya hampir seluruh proses jual beli saham yang sudah dibukukan dalam akta oleh notaries yang scara hukum sudah terjadi transaksi, namun faktanya Tjipta Fudjiarta tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli saham tersebut dan ironisnya Conti Chandra menyetujui dalam akta tersebut karena didasari atas KEPERCAYAAN.

Lebih jauh bisa dianalisis dari Akta nomor 53 tanggal 22 Desember 2011. Dalam akta yang diterbitkan Notaris Anly Cenggana, SH tersebut dinyatakan bahwa Conti Chandra telah menjual sebagian sahamnya kepada Tjipta Fudjiarta, sehingga susunan pemegang saham menjadi Conti Chandra memiliki 84 lembar saham sedangkan Tjifta Fudjiarta memiliki 196 lembar saham diharga 1.000 rupiah. Proses jual beli berdasarkan akta ini juga sebenarnya secara rill tidak disertai transaksi atau penyerahan uang dari pembeli ke penjual karena semuanya dilakukan atas KEPERCAYAAN.

Ironisnya justru KEPERCAYAAN yang diberikan Conti Chandra menjadi boomerang bagi dirinya sendiri, karena Tjipta Fudjiarta ternyata orang yang tidaka bisa diberi KEPERCAYAAN. Setelah merasa sudah menguasai saham PTBMS, Tjipta Fudjiarta mulai menampakan sipat aslinya dengan terlebih dahulu mendepak Conti Chandra dari kursi Direktur dan mengantinya dengan orang lain.

Setelah memecat Conti Chanra selanjutnya Tjipta Fudjiarta mulai mengontrol operasional BCC Hotel dan Conti Chandra tidak lagi memiliki akses untuk mengetahui operasional BCC Hotel. Namun, seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, dan sepandai pandainya tupai melompat pasti jatuh juga kebawah.
Tjipta Fudjiarta yang merasa sudah menguasai dan memiliki BCC Hotel harus berjuang lebih panjang untuk mewujudkan mimpinya itu karena berdasarkan bukti, fakta yang ada ternyata banyak celah yang bisa membuyarkan mimpi taipan asal kota Medan tersebut.

Analis pasar modal, Felix Sindhuwinata mengatakan, setiap perusahaan mestinya didalam laporan keuanganya menyebutkan seluruh asset yang dimiliki. Artinya, dalam laporan keuangan PT BMS mestinya disebut bahwa gedung BCC hotel merupakan salah satu asset perseroan. Namun jika di teliti laporan keuangan perseroan ternyata Gedung BCC hotel belum termasuk atau belum dimasukan dalam asset perseroan sehingga penguasaan gedung BCC Hotel oleh Tjipta Fudjiarta sangat keliru.

Maka dengan begitu, berarti PT BMS yang dikuasai Tjipta Fudjiarta hanya mengontrak atau sewa kepada pihak ketiga yang dalam hal ini bisa jadi Conti Chandra.

Penguasaan Gedung BCC Hotel oleh Tjipta Fudjiarta juga dianggap keliru karena saham mayoritas yang dibelinya hanya seharga 1.000 rupiah per lembar, sama persis dengan harga saham diawal pendirian perseroan yang kala itu belum dibangun BCC Hotel.

Jika diasumsikan Tjipta Fudjiarta sudah memiliki gedung BCC Hotel dengan memiliki saham mayoritas 196 lembar saham dengan harga 196 juta rupiah Artinya, Tjipta Fudjiarta hanya membeli gedung BCC Hotel seharga 196 juta rupiah, padahal berdasarkan penilaian oleh KJPP Miduk Totok dan Rekan yang berkedudukan di Jakarta pada 28 Mei 2011 disebutkan bahwa nilai gedung BCC Hotel saat itu 182.132.000.000 rupiah. Dengan demikian, jika Tjipta Fudjiarta bersikeras ingin mewujudkan mimpinya memiliki gedung BCC Hotel dia harus mengeluarkan lagi sekitar 181,9 miliar rupiah lagi kepada Conti Chandra. Namun berdasarkan nilai pasar saat ini yang mencapai 400 miliar rupiah, maka Tjipta Fudjiarta baru bisa mewujudkan mimpinya dengan mengeluarkan uang lebih dari 300 miliar rupiah lagi.

Atas kasus sengketa kepemilikan BCC Hotel ini, penulis memandang telah terjadi kejahatan yang sangat rapi untuk menguasai asset seseorang. Tjipta Fudjiarta agaknya memiliki pemahaman yang cukup bagus tentang hukum dan juga cerdik tentunya. Oleh karena itu, Majelis Hakim yang merupakan perwakilan Tuhan untuk memberi keadilan di Bumi harus sangat jeli dan tidak keliru memberi keputusan sidang. 


1 komentar: